Oleh: Najib Maulana Alfikri
Mungkin judul di atas tidak menarik bagi sebagian orang. Namun, banyak orang yang menganut agama Islam lupa bahwa agama itu menawarkan kemudahan karena ajarannya sangat aplikatif dan dapat diterima oleh setiap orang sesuai dengan kemampuan mereka. Setiap ajaran agama pada dasarnya universal dan fleksibel, asalkan dilakukan dengan tulus. Misalnya, ketika orang melakukan ibadah seperti salat dan puasa, Allah tidak ingin mereka merasa terbebani. Sebaliknya, Allah ingin mereka melakukannya dengan ikhlas dan dengan hati yang lapang.
Di setiap aspek kehidupan umat muslim, dianjurkan untuk memperdalam pengetahuan, dengan tingkat pengetahuan yang terus meningkat, seharusnya seseorang dapat memahami betapa luasnya ilmu itu. Menurut Imam Syafi’i “Agama itu bukan soal banyaknya ibadah atau amalan yang dilakukan, tetapi bagaimana kita mengamalkan ajaran agama dengan benar dan sesuai dengan kemampuan kita”. Dalam Al-qur’an, Allah berfirman: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”(Al-Anbiyaa: 107). Sedangkan dalam Hadist, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya agama itu mudah. Dan selamanya agama tidaklah memberatkan seseorang melainkan memudahkannya. Karena itu, luruskanlah, dekatilah, dan berilah kabar gembira! Minta tolonglah kalian di waktu pagi-pagi sekali, siang hari di kala waktu istirahat dan di awal malam,” (HR. al-Bukhari [39] dan Muslim [2816]).
Dalam buku I’lam al-Muwaqqi’in karya Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, beliau menjelaskan bahwa “syariat Islam dibangun atas dasar kemaslahatan, keadilan, rahmat, dan kebijaksanaan, bukan untuk menyulitkan. Setiap syariat yang keluar dari rahmat menuju kekerasan, dari kemaslahatan menuju kerusakan, maka itu bukanlah dari Islam”. Banyak di antara kita menyadari bahwa dalam narasi, Islam dikenal sebagai agama yang mudah. Islam merupakan agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam sebagai kesepakatan umat islam itu sendiri. Setelah memahami konsep ini, tantangan yang muncul adalah menyajikan contoh atau praktik yang mudah dipahami orang lain. Yang susah itu bukan islam nya, tapi yang susah adalah membuat islam menjadi agama yang rileks.
Fokus Pada Niat, Hindari Kemewahan Dalam Beribadah
Islam menekankan bahwa niat menjadi hal yang paling penting dalam setiap tindakan. Ketika seseorang melakukan ibadah dengan niat yang tulus karena Allah, maka itu sudah mencerminkan inti dari ibadah. Banyak orang sering kali fokus pada hal-hal teknis atau formal dalam ibadah, padahal yang utama adalah niat dan keikhlasan dari hati. Sebagai contoh, dalam hal sedekah, sebaiknya memberikan sesuai dengan kemampuan mereka, tanpa perlu memamerkan kekayaan. Ini selaras dengan ajaran dalam Islam yang mendorong kita agar tidak bertindak berlebihan dalam ibadah atau dalam menampakkan amal kebaikan. Menurut ulama Indonesia, Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang sering dikenal dengan Gus Baha’ berkata: “Ibadah yang sederhana, jika dilakukan dengan niat yang baik dan keikhlasan, akan lebih diterima oleh Allah dari pada ibadah yang penuh dengan riya’ (pamer)”. Dalam Al-qur’an, Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, jangan membatalkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia, sedangkan dia tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu licin yang di atasnya ada debu, lalu batu itu diguyur hujan lebat sehingga tinggallah (batu) itu licin kembali. Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan. Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum kafir” (Al-Baqarah: 264).
Dalam Tafsir Ibnu Katsir “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Allah Swt. memuji orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian tidak mengiringi kebaikan dan sedekah yang telah mereka infakkan dengan menyebut-nyebutnya kepada orang yang telah mereka beri. Dengan kata lain, mereka tidak menyebutkan amal infaknya itu kepada seorang pun dan tidak pula mengungkapkannya, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan”.
Penerapan Nilai-Nilai Islam Dalam Kehidupan Sosial
Meskipun agama Islam dikenal sebagai agama yang mudah, sejumlah hambatan muncul ketika ajaran-ajarannya diterapkan dalam konteks sosial. Aspek sosial ini mencakup bagaimana para penganut Islam berhubungan satu sama lain, cara mereka menjalani kehidupan sehari-hari, serta respons mereka terhadap isu-isu sosial yang ada di lingkungan sekitar. Salah satu kesulitan besar dalam implementasi sosial Islam adalah beragamnya interpretasi terhadap ajaran agama. Meski Al-Qur’an dan Hadis berfungsi sebagai sumber hukum utama yang jelas, dalam banyak situasi, perbedaan cara memahami teks-teks keagamaan sering kali menimbulkan polarisasi di antara para umat Islam itu sendiri.
Beberapa kelompok mungkin memilih untuk mengikuti satu pemahaman yang lebih tradisional, sedangkan kelompok lainnya mengusung pendekatan yang lebih seimbang. Sebagai akibat perbedaan pemahaman ini bisa mengakibatkan ketegangan dan perselisihan di kalangan umat Islam, bahkan dalam aspek-aspek yang seharusnya tidak menimbulkan kontroversi, seperti tata cara beribadah, isu-isu sosial, atau pengertian tentang ajaran moral dalam Islam. Ajaran Islam yang sebenarnya yang sederhana sering kali terjebak dalam kompleksitas sosial akibat perbedaan pandangan. Ini menunjukkan bahwa praktik sosial dalam Islam tidak selalu berjalan mulus, terutama jika dinilai dari perspektif masyarakat yang terfragmentasi.
Penekanan pada aspek formal dan ritual dalam praktik keagamaan kadang mengakibatkan makna serta tujuan ibadah terlupakan. Terdapat banyak individu yang percaya bahwa mereka sudah cukup menjalani ibadah ritual tanpa mempertimbangkan cara mereka berinteraksi dengan orang lain, terutama dalam hal kasih sayang, keadilan sosial, atau kolaborasi di dalam masyarakat. Ibadah tidak sekadar soal formalitas, melainkan tentang ketulusan niat dan keikhlasan batin. Jika ibadah hanya dilihat sebagai kewajiban yang harus dipenuhi dengan mengikuti serangkaian peraturan teknis, maka pengalaman beragama ini akan menjadi beban dan membosankan. Di sisi lain, ajaran Islam menyatakan bahwa ibadah seharusnya dijalani dengan sukacita dan kegembiraan, sehingga setiap Muslim dapat merasakan ketenteraman hati dan tidak merasa terbebani oleh rutinitas keagamaan.
Untuk mengatasi masalah dalam praktik sosial ini, sangat penting bagi umat Muslim untuk merujuk kembali kepada dasar-dasar ajaran Islam yang menekankan pada kesederhanaan, ketulusan, dan ketenangan. Islam mengajarkan tentang keadilan, toleransi, serta kebaikan terhadap satu sama lain. Maka dari itu, setiap orang yang menerapkan ajaran Islam perlu berusaha mengekalkan kesederhanaan dalam kehidupannya, memperhatikan kebutuhan komunitas, dan menjauhi sikap eksklusif yang berpotensi menimbulkan perpecahan.(Najib Maulana Alfikri)
Leave a Reply