Oleh: Najib Maulana Alfikri
Ahmad Syafii Maarif atau yang sering kita kenal dengan panggilan Buya Syafii. Beliau bukan terlahir dari keluarga bangsawan, tapi dilahirkan di sebuah desa kecil yang bernama Sumpur Kudus, di Sumatra Barat, dan dibesarkan dalam kehanan yang sederhana. Hal ini yang kemudian membuatnya memiliki jiwa dan mental yang kuat. Pendidikan serta koneksinya begitu luas, dari Yogyakarta hingga Amerika, malah tidak membuatnya menjadi manusia yang sombong, beliau memilih untuk memperkaya pandangan hidupnya mengenai Islam, kemanusiaan, dan Indonesia.
Sebagai mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah dan pendiri Maarif Institute, Buya Syafii dikenal sebagai cendekiawan yang hidup dalam kesederhanaan. Kesederhanan Buya bukan hanya terkait dalam harta, tapi juga kesederhanaan dalam intelektual. Hal itu tertuang dalam buku Muhammadiyah dan Orang-Orang Yang Bersahaja karya Hajriyanto Thohari. Mengutip argumentasi dari Prof. Ahmad Najib Burhani yang menjelaskan kehidupan buya “Bagaimana kita bisa hidup dalam kesederhanaan, ketika mempunyai 500 Milyar, kemana-mana masih sering pakai sepeda. Sosok kesederhanaa Buya sangat mencerminkan bahwa beliau adalah orang yang hebat dan sosok Buya bisa dikatakan sebagai potret tentang ilmu-ilmu yang telah diajarkan dalam Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari”. Buya adalah suara hati masyarakat. Sepanjang hidupnya, beliau mengambil jalan yang sulit, berbicara dengan jelas di tengah hiruk-pikuk kepentingan, menyebarkan nilai-nilai Islam bukan dengan teriakan keras, melainkan melalui contoh yang lembut dan penuh kebijaksanaan.
Kini, kita mengenang sosok cendekiawan muslim yang sudah pergi meninggalkan dunia dan saat ini sudah memasuki tahun yang ke sembilan puluh, kita tidak lagi bisa menggenggam tangan Buya, hanya untuk sekedar mendengar suaranya secara langsung pun sudah tidak bisa, atau bahkan hadir dalam majelis ilmunya. Namun, warisan pemikirannya tetap ada, lebih abadi dari pada batu nisan, lebih keras dari perkataan kekuasaan. Beliau menjelaskan bahwa Islam bukan hanya sebuah simbol, bukan sarana untuk mendapatkan kekuasaan, tetapi cahaya yang membimbing manusia untuk bersikap adil, berpikir logis, dan berbuat baik kepada sesama.
Pemikirannya tentang islam telah melampaui dinding-dinding eksklusivisme. Buya Syafii adalah pengingat bahwa menjadi seorang muslim tidak harus beringas, tidak perlu merasa paling benar, dan tidak seharusnya mengabaikan yang berbeda. Dalam buku Mozaik Keteladanan Buya Syafii Maarif karya Erik Tauvani Somae, beliau menjelaskan bahwa “Berbeda dalam persaudaraan dan bersaudara dalam perbedaan”. Buya meninggalkan sebuah Islam yang merakyat, mendukung yang lemah, dan terbuka terhadap perkembangan zaman tanpa kehilangan identitasnya.
Mengingat Buya Syafii berarti mengingat Indonesia yang penuh dengan harapan, Indonesia yang religius tanpa fanatisme, yang nasionalis tanpa menindas, dan yang beradab dalam setiap sisi kehidupan. Di tengah masalah teladan saat ini, warisan etika dan pemikiran Buya menjadi cahaya yang tidak pernah padam.
Merawat Api Nilai di Tengah Abu Zaman
Di balik suara bising perubahan zaman yang sangat cepat, kadang kita melihat pemandangan yang menyedihkan. Nilai-nilai baik yang selama ini menjadi pedoman hidup pelan-pelan pudar, seolah tertutupi oleh abu kebingungan, perselisihan, dan ketidakpastian yang terjadi. Zaman ini, yang kita namakan “abu zaman” adalah periode di mana kebenaran sering diragukan, dan berbagai tantangan moral serta sosial terlihat semakin rumit dan membingungkan. Api nilai bukan hanya soal melestarikan tradisi lama yang sudah beku, tetapi juga merupakan usaha yang sadar untuk menerjemahkan nilai-nilai itu dengan kondisi zaman yang baru. Seperti api kecil di antara abu, nilai-nilai ini sering kali terlihat tersembunyi, tetapi sebenarnya mereka masih ada, menunggu untuk dinyalakan lagi dengan semangat dan komitmen yang tangguh. Dalam pandangan Buya Syafii, menjaga nilai-nilai bukanlah berarti menolak perubahan, tetapi sebaliknya, yaitu menciptakan keseimbangan antara tradisi, inovasi yang itu juga sebagai bentuk usaha untuk memperjuangkan ijtihad. Buya Syafii percaya bahwa ijtihad adalah penghubung antara tradisi dan modernisasi, yang memberi kesempatan bagi manusia untuk menemukan dasar moral yang kokoh tanpa mengorbankan identitas dan kemurnian nilai-nilai mulia.
Dalam buku Culture and Anarchy karya Matthew Arnold, ada kalimat yang sangat bagus, yakni “the best that has been thought and said in the world (yang terbaik adalah yang pernah dipikirkan dan diucapkan di dunia)”. Bagi Arnold, budaya bukanlah hal yang mewah, tetapi merupakan kebutuhan hidup. Budaya sebagai proses untuk memperbaiki diri yang dilakukan tanpa henti, menjadi sebuah usaha manusia untuk meninggalkan kebodohan, keangkuhan, dan egoisme sempit menuju keseimbangan dan pencerahan. Bagitupun dalam menjaga warisan pemikiran Buya Syafii, bukanlah sekadar seremonial. Ini bukan hanya tentang mengingat atau merayakan setiap tahun. Lebih dari itu, merawat warisan Buya adalah sebuah panggilan moral dan intelektual untuk mempertahankan semangat kebenaran, keadilan, dan keikhlasan di dunia yang terus berubah dan terkadang membuat batas antara nilai dan kepentingan menjadi tidak jelas.
Warisan pemikiran Buya adalah undangan untuk berpikir merdeka, namun masih berpegang pada nilai-nilai tertentu. Sering kali dalam argumentasinya, Buya mengajak untuk tidak menyerah pada perubahan zaman yang sering mengganggu pengertian sejati tentang kemanusiaan dan kepercayaan. Buya mendorong untuk menjadi penjaga obor yang setia, yang dengan ketekunan dan keberanian menjaga integritas nilai-nilai luhur dalam setiap langkah hidup. Ketika Prof Haedar Nashir sedang mengunjungi RS PKU Muhammadiyah Gamping, Yogyakarta pada 27 Mei 2022, Prof Haedar mengungkapkan bahwa “Buya adalah sosok yang selalu menjunjung tinggi akhlak mulia baik di internal Muhammadiyah atau di eksternal, Buya juga dikenal sebagai tokoh yang humanis, menjadikannya sebagai sosok yang inklusif dan negarawan”.
Dalam merawat api nilai, berarti juga menginginkan sebuah perubahan signifikan, yang sering kali datang dari orang yang tak ingin menyerah pada rasa putus asa. Dari orang yang memilih untuk tetap jujur ketika dunia mendorong untuk berpura-pura. Dari orang yang berusaha untuk tetap adil saat suara banyak orang menggoda untuk menindas. Dari orang yang terus menyebarkan kasih sayang saat yang lain memilih untuk berpecah belah. Walaupun sunyi. Walaupun tidak dipuji. Walaupun terkadang merasa sendiri. Karena di balik semua itu, ada sebuah janji, bahwa api yang dipelihara saat ini bisa menjadi sumber cahaya bagi banyak jiwa di masa depan.
Buya Syafii bukan hanya seorang cendekiawan muslim yang cerdas, tetapi juga seorang pemimpin sejati yang selalu mengedepankan nilai-nilai kejujuran, toleransi, dan persatuan. Dalam setiap tindakan dan ucapan, Buya menunjukkan arti Islam yang membawa kedamaian bagi semua. Keteladanan Buya menjadi cahaya yang menerangi di tengah zaman yang semakin kehilangan arah. Semoga semua amal baik dan usaha Buya Syafii menjadi sumber pahala yang tidak pernah putus.Red(Najib Maulana Alfikri)
Leave a Reply